Infonusa.co, TENGGARONG– Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Bambang Arwanto, mengungkapkan banyak hal yang terjadi terkait gender mainstream.
Dalam perbincangan dengan sejumlah awak media, Bambang Arwanto membahas soal keterwakilan perempuan di parlemen, rencana DP3A Kukar, hingga meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Bambang Arwanto mengawali perbincangan soal keterwakilan perempuan di parlemen yang jumlahnya hanya mencapai 15 persen dari target 30 persen.
Tidak hanya di parlemen, keterlibatan perempuan pada jabatan publik juga masih tergolong minim.
“Keterlibatan perempuan dalam jabatan publik juga sangat sedikit, baru ada sekitar 19 persen. Ini perlu ada kesamaan pikiran, karena konstruksi sosial laki-laki dan perempuan tidak bolehlah disamakan sosialnya,” ucap Bambang, Senin (30/10/2023).
“Tapi, perempuan dan laki-laki itu harus disamakan dalam aspek politik dan semua aspek kehidupan,” sambungnya.
Ia tak pungkiri, kultur masyarakat Indonesia masih menilai perempuan hanya mengurus rumah dan dapur belum dapat sepenuhnya dihilangkan.
“Tentu perempuan harus menjadi pioner kebijakan untuk perempuan,” imbuhnya.
Dalam tatanan DP3A Kukar, pihaknya selalu membuat program, maupun kegiatan yang memiliki dimensi dan manfaat yang sama untuk laki dan perempuan.
“Sosialisasi terus kita lakukan, termasuk dari segi anggaran, di mana setiap kegiatan pembangunan harus punya dimensi manfaat yang sama untuk laki dan perempuan,” jelasnya.
Lalu, pihaknya merencanakan untuk membangun mal pelayanan perempuan dan anak.
Mal pelayanan perempuan dan anak menjadi suatu layanan terpadu, di mana semua keperluan, bagi proses administrasi, konsultasi, pendampingan, hingga laporan kepolisian, tersedia dalam satu atap.
Menurutnya mal pelayanan perempuan dan anak perlu dibangun, mengingat tingginya angka kekerasan dan anak di Kukar.
Persoalan ekonomi masih menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan perempuan dan anak, baik KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), maupun kekerasan seksual.
“Dibanding semester sebelumnya, ini yang paling banyak (kasus kekerasan perempuan dan anak).”
“Dengan adanya mal pelayanan perempuan dan anak, maka penanganan terhadap korban dapat dilakukan dengan cepat dan terpadu,” ungkapnya. (adv/diskominfkukar)